Mariologi dalam Perspektif Kristologi, Eklesiologi
Perspektif Kristologi menekankan kesatuan Maria dengan Yesus Kristus sebagai pusat keselamatan. Dalam pendekatan ini, Maria dipandang dalam relasinya yang erat dengan Kristus, sehingga peranannya dirancang secara analog dengan peran Kristus sendiri. Jika Kristus adalah redemptor (penebus), mediator, dan rex (raja), maka Maria pun mendapat peran sebagai corredemptrix (rekan penebus), mediatrix (pengantara), dan regina (ratu). Pendekatan ini dikenal sebagai christo-typical dan cenderung menghasilkan mariologi yang maksimalis, yang mengangkat berbagai keistimewaan Maria secara luas.
Perspektif Eklesiologi memandang Maria dalam hubungannya dengan umat manusia dan Gereja. Maria dianggap sebagai figur orang beriman yang paling otentik, ikon Gereja, dan model murid Kristus. Dalam kerangka ini, Maria berada di pihak manusia sebagai bagian dari Gereja yang diselamatkan oleh Kristus. Oleh karena itu, keistimewaan Maria dipahami dalam konteks Gereja dan ditempatkan di dalamnya. Pendekatan ini disebut ecclesio-typical dan menghasilkan mariologi yang lebih minimalis dibandingkan perspektif kristologis.
Pada akhirnya, perspektif eklesiologis menjadi arus utama dalam Konsili Vatikan II, yang mengintegrasikan ajaran tentang Maria dalam dokumen Lumen Gentium (bab VIII), menempatkan Maria bukan di atas Gereja atau di antara Gereja dan Kristus, melainkan di dalam Gereja sebagai bagian dari umat yang diselamatkan.
Konsep Corredemptrix dan Mediatrix Omnium Gratiarum
Konsep Corredemptrix dan Mediatrix Omnium Gratiarum dalam Mariologi Katolik merujuk pada peran khusus Maria dalam karya keselamatan yang dilakukan oleh Yesus Kristus, meskipun keduanya belum secara resmi ditetapkan sebagai dogma oleh Gereja. Corredemptrix berarti Maria sebagai rekan penebus, yang secara subordinatif namun esensial ikut serta dalam karya penebusan Kristus. Peran ini menekankan bahwa Maria, dengan ketaatan dan persetujuannya sejak kabar gembira hingga penderitaan di kaki salib, berpartisipasi dalam penebusan umat manusia, namun tetap sepenuhnya bergantung dan berada di bawah otoritas Kristus sebagai satu-satunya Penebus sejati. Dengan kata lain, Maria tidak sejajar dengan Kristus, melainkan menjadi mitra yang turut mengalami penderitaan dan karya keselamatan secara unik.
Sementara itu, Mediatrix Omnium Gratiarum mengacu pada peran Maria sebagai pengantara segala rahmat yang berasal dari Kristus. Maria dianggap sebagai perantara dalam arti bahwa semua rahmat yang diberikan kepada manusia melalui karya penebusan Kristus dialirkan melalui dirinya. Konsep ini memiliki dua makna utama: pertama, Maria sebagai ibu yang melahirkan Sang Penebus, sumber semua rahmat; kedua, Maria yang diangkat ke surga turut serta dalam memerantarai rahmat tersebut kepada umat manusia. Paus-paus seperti Leo XIII, Pius X, dan Benediktus XV mendukung pengertian ini, dan Gereja menetapkan hari perayaan Maria sebagai Perantara Semua Rahmat sebagai tanda pengakuan atas peran ini. Namun, Santo Thomas Aquinas menegaskan bahwa Kristus adalah satu-satunya perantara sempurna, dan peran Maria sebagai perantara adalah partisipatif dan tidak mengurangi keunikan Kristus.
Kedua konsep ini menjadi fokus diskursus mariologi yang intens menjelang Konsili Vatikan II, dengan dorongan dari berbagai kalangan, termasuk uskup dan umat awam, untuk mendefinisikan keduanya sebagai dogma. Gerakan ini dikenal dengan prinsip De Maria numquam satis ("tentang Maria tidak pernah cukup"), yang mendorong pengembangan gelar-gelar dan pemahaman baru tentang Maria. Namun, terdapat pula penentangan dan kekhawatiran bahwa penetapan dogma ini dapat menimbulkan kebingungan teologis, terutama terkait posisi unik Kristus sebagai satu-satunya Penebus dan Perantara. Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus misalnya, menyarankan agar gelar corredemptrix tidak digunakan secara resmi karena dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Singkatnya, corredemptrix menegaskan partisipasi Maria dalam karya penebusan secara subordinatif bersama Kristus, sedangkan mediatrix menegaskan peran Maria sebagai pengantara rahmat yang berasal dari Kristus kepada umat manusia. Keduanya merupakan ekspresi penghormatan tinggi terhadap peran Maria dalam keselamatan, tetapi tetap menempatkan Kristus sebagai pusat dan satu-satunya Penebus dan Perantara sempurna.
Hubungan Mariologi dengan Kristologi dan Eklesiologi
Mariologi tidak dapat dipisahkan dari Kristologi karena hubungan ibu-anak antara Maria dan Yesus sangat mendalam dan fundamental dalam karya keselamatan. Maria bukan hanya ibu secara biologis, tetapi juga menjadi figur yang mengembangkan pemahaman lebih dalam tentang siapa Kristus itu dan apa yang dilakukan-Nya dalam karya penebusan. Dalam teologi Katolik, Mariologi dipandang sebagai suatu pengembangan Kristologi secara penuh, karena ajaran tentang Maria secara langsung berkaitan dengan ajaran tentang Kristus, Sang Penebus. Tanpa Maria, pemahaman Kristologi dianggap tidak lengkap karena Maria hadir sebagai bagian integral dalam misteri inkarnasi dan keselamatan. Sebaliknya, eklesiologi melihat Maria sebagai gambaran dan cermin dari Gereja, yang juga disebut sebagai Tubuh Kristus. Dalam pandangan ini, Maria disebut sebagai "Bunda Gereja" yang melambangkan kesatuan dan hubungan erat antara Gereja dan Kristus. Maria menjadi simbol hidup dari Gereja yang suci, perawan, dan ibu, yang memikul penderitaan dan sejarah keselamatan bersama umat beriman. Paus Benediktus XVI dan teolog seperti Hugo Rahner menegaskan bahwa mariologi pada dasarnya adalah eklesiologi, karena Gereja dipahami seperti Maria: seorang perawan dan ibu yang tanpa noda dosa, yang mengalami penderitaan dan pengangkatan ke surga. Mereka menunjukkan bahwa Maria bukanlah sosok yang berdiri sendiri, melainkan cerminan dan personifikasi Gereja itu sendiri, yang menjadi manusia dalam diri Maria. Paus Benediktus XVI juga menyesali bahwa dalam sejarah Gereja, persatuan antara Maria dan Gereja sering kali tertutup dan Maria dibebani dengan berbagai keistimewaan yang memisahkannya dari Gereja. Hal ini menyebabkan baik mariologi maupun eklesiologi mengalami penderitaan karena pemisahan tersebut. Namun, pandangan yang benar menempatkan Maria dan Gereja dalam kesatuan yang langsung tertuju pada Kristus, sehingga kesatuan antara Gereja dan Maria menjelaskan makna kesucian dan misteri inkarnasi, yaitu "Tuhan menjadi manusia" dalam sejarah keselamatan umat manusia.
Kesimpulannya, antara tahun 1900 hingga 1962, mariologi berkembang dalam dua perspektif utama: kristologis yang menekankan kesatuan Maria dengan Kristus dan peranannya sebagai corredemptrix dan mediatrix, serta eklesiologis yang menempatkan Maria sebagai ikon dan model Gereja yang diselamatkan. Konsili Vatikan II mengadopsi perspektif eklesiologis sebagai kerangka utama mariologi dalam dokumen Lumen Gentium.
Daftar Pustaka
Atmoko, A.H. (2018). Yesus sebagai Locus Classicus Sakramen Penguatan dalam Teologi Kenan B. Osborne. Jurnal Teologi.
Hasiholan, A.M., & Setyobekti, A.B. (2021). Ekstraksi Pemahaman Cyprianus tentang Extra Ecclesiam Nulla Salus bagi Gereja Pentakosta di Era Postmodern. KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta.
Himawan, A. (2021). ROH KUDUS BEKERJA DI AGAMA-AGAMA LAIN? Jurnal Amanat Agung.
Komentar
Posting Komentar