Martabat Manusia Dalam Kesetaraan Gender Perempuan Menurut Dokumen Gaudium Et Spes Art. 9 dan 29

Abstrak

Untuk memenuhi misi Tuhan di dunia, Gereja Katolik terus memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Selama seperempat abad terakhir, kehidupan wanita telah mengalami perubahan yang signifikan. Kesetaraan gender masih jauh dari sempurna. Mereka yang tidak berdaya menderita penderitaan lebih lama karena budaya patriarki yang masih kuat. Hal ini juga membuat perjuangan dan perubahan menuju keadilan dan kesetaraan gender menjadi lebih sulit. Diskriminasi terhadap perempuan sering terjadi di hampir semua tempat kerja, bahkan di sebagian besar dunia. Kita dapat memahami bahwa gender adalah variasi yang bukan biologis dan tidak berasal dari alam semesta. Penulis ingin mengangkat tema kesetaraan gender, yang dibahas dalam artikel 29 dari dokumen Gereja Gaudium Et Spes.Menurut Artikel 9 dan 29 dari Sumbangsi Gaudium Et Spes, kesamaan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada niat baik institusi , yang berarti bahwa baik laki-laki maupun perempuan berpartisipasi dalam perjuangan yang diperjuangkan gereja, yaitu perjuangan untuk membentuk kehidupan manusia menjadi lebih manusiawi. Gereja Katolik juga menekankan bahwa kesetaraan gender akan memakan waktu yang lama, karena perjuangan untuk mencapainya sulit, terutama di dunia yang dipengaruhi oleh paham patriarki. Gereja berusaha keras melalui dokumen ini untuk mempertimbangkan bagaimana masalah gender diperhatikan secara serius untuk mencegah ketidakadilan dalam masyarakat.

Kata Kunci: Perempuan; Kesetaraan Gender; Gereja Katolik; Gaudium et Spes


Latar Belakang

Untuk memenuhi misi Tuhan di dunia, Gereja Katolik terus memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Selama seperempat abad terakhir, kehidupan wanita telah mengalami perubahan yang signifikan. Dibandingkan dengan masa lalu, keaksaraan perempuan telah meningkat. Pendidikan dan pekerjaan sekarang tersedia bagi perempuan. Namun, perubahan ini tidak serta merta berdampak sama pada semua negara dan wilayah. Kesetaraan gender masih jauh dari sempurna. Mereka yang tidak berdaya menderita penderitaan lebih lama karena budaya patriarki yang masih kuat. Hal ini juga membuat perjuangan dan perubahan menuju keadilan dan kesetaraan gender menjadi lebih sulit.

Diskriminasi terhadap perempuan sering terjadi di hampir semua tempat kerja, bahkan di sebagian besar dunia. Alasannya jelas: masyarakat gagal melepaskan diri dari budaya patriarki yang telah mempengaruhi dan memaksa perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki selama ribuan tahun. Hingga saat ini, kesetaraan gender masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Hal ini ditandai dengan munculnya gerakan feminisme di Indonesia, yang menuntut hak yang sama bagi perempuan di masyarakat (Zega, 2021). Bahkan seolah-olah kesetaraan gender dianggap sebagai tindakan atau keinginan yang menempatkan perempuan di depan di berbagai belahan dunia (Fauziah, 2015). Karena adanya pemahaman sosial seperti itu, orang secara sadar atau tidak sadar memandang perempuan sebagai orang yang lemah dan menganggap peran dan fungsi dalam kehidupan sosial sebagai hal yang tidak penting. Oleh karena itu, laki-laki melakukan pekerjaan umum, sedangkan perempuan hanya melakukan pekerjaan rumah tangga.

Kita dapat memahami bahwa gender adalah variasi yang tidak berasal dari biologi atau tidak berasal dari alam semesta. Istilah “gender” sendiri harus membedakan antara “gender” dan “seks”, atau jenis kelamin. Perbedaan gender yang membedakan laki-laki dan perempuan adalah tatanan biologis yang tidak dapat diubah yang diciptakan oleh Tuhan. Gender mengacu pada perbedaan sosial yang ada antara perilaku pria dan wanita. Proses sosial dan budaya yang panjang menghasilkan perbedaan yang tidak adil ( Efendy , 2014 ).

Selama periode pemikiran klasik filsafat Barat, para filosof Eropa memperhatikan sastra Yunani kuno dan Romawi tentang masalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Mereka dapat dianggap menyetujui masalah diskriminasi . Sampai batas tertentu, perbedaan ini menyebabkan diskusi dikotomis yang membedakan laki-laki dan perempuan. Dalam bahasa Indonesia, setidaknya ada dua istilah yang digunakan untuk menggambarkan perempuan. Dengan kata lain, istilah “perempuan” dan istilah “wanita”.

Gereja sekarang mulai menyuarakan ketimpangan sosial dalam ideologi dan simbolisme budaya yang membawa perempuan ke budaya yang berbeda terkait dengan sesuatu yang hampir setiap budaya tolak. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyatakan bahwa mencapai keadilan bagi wanita adalah perjuangan yang sulit. Oleh karena itu, KWI mengesahkan pembentukan Jaringan Mitra Perempuan (JMP) pada tanggal 9 Desember 1995 sebagai upaya untuk mencapai kesetaraan gender. JMP muncul sebagai kebutuhan evangelis bahwa wanita, yang merupakan setengah dari populasi dunia, diakui dan mendapatkan martabatnya. Gereja menempatkan masalah gender pada Magisterium dan kebijakan pastoralnya. Beberapa dokumen gereja, seperti Mater et Magistra, Gaudium et Spes, dan Apostolicam Actuasitate. Beberapa dokumen dari Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC) juga membahas masalah ini(Newbie, 2019).

Melalui tugas ini, penulis ingin mengangkat tema emansipasi perempuan yang dibahas berdasarkan dokumen dari Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC) juga membahas masalah ini(Newbie, 2019).yang dibahas berdasarkan artikel 9 dan 29 dari Gaudium Et Spes, dokumen Gereja. Artikel tersebut tidak hanya membahas kesetaraan gender; itu juga membahas kesetaraan sosial dan keadilan yang diperlukan untuk setiap orang. Hal ini bertujuan untuk membuat semua orang menyadari bahwa manusia adalah awal dan kodrat adalah ciptaan . Penulis berharap dengan adanya artikel ini kucing mengenai kesetaraan gender semakin terbuka dan semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, menyadari bahwa perbedaan itu ada karena kehendak Tuhan. Laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama karena sejak awal manusia diciptakan serupa dengan Allah.


Makna dan Sejarah Gender

Makna dan Sejarah "Gender" berasal dari kata bahasa Inggris "gender", yang berarti "jenis kelamin". Gender didefinisikan dalam Kamus Webster’s New World sebagai perbedaan yang terlihat antara pria dan wanita dalam hal nilai dan tingkah laku. Gender adalah konsep budaya yang berusaha membedakan laki-laki dan perempuan dalam peran, perilaku, cara berpikir, dan karakteristik emosional ketika mereka dewasa di masyarakat, menurut Encyclopedia of Women's Studies (Mazaya, 2014).

Di sisi lain, gagasan gender didefinisikan sebagai atribut yang dimiliki laki-laki dan perempuan dan dikonstruksi secara sosial dan budaya. Gender mengacu pada perbedaan perilaku yang dibangun secara sosial (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan. Ini bukan perbedaan alami atau yang ditetapkan Tuhan, tetapi perbedaan yang disebabkan oleh manusia (perbedaan yang disebabkan oleh laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan budaya yang telah berlangsung selama bertahun-tahun (Annisa, 2021). Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sangat panjang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti keadaan budaya, agama, dan politik. Sifat biologi muncul secara alami atau terlihat tidak dapat diubah. Dalam konteks gender, dapat didefinisikan sebagai ekspektasi budaya laki-laki dan perempuan; ini dianggap sebagai istilah budaya yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, emosi dan mental, dan faktor non-biologis lainnya sebagai diketahui sifat yang digunakan sebagai dasar untuk tidak mungkin untuk mendamaikan laki-laki dan perempuan (Rokhmansyah, 2016).

Di Indonesia, gerakan perempuan abad ke-19 berkonsentrasi pada tuntutan hak pendidikan yang sama. Pada saat itu, perempuan tidak dapat memperoleh pendidikan tinggi seperti laki-laki dan mereka dibatasi oleh budaya lokal. Seorang istri harus mematuhi suaminya dan melakukan tugas rumah tangga lainnya. Perempuan sebagai gender kedua yang diwujudkan dalam representasi yang berpihak pada laki-laki Swargo nunut neroko katut adalah istilah yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan seorang istri semata-mata bergantung pada suaminya, dan merupakan ilustrasi perempuan yang tidak memiliki peran dalam kehidupan (Amar, 2017).

RA Kartini adalah tokoh wanita yang memperjuangkan kaumnya. Suratnya menunjukkan pemikirannya. Selama bertahun-tahun, perjuangan dan gagasan tentang emansipasi wanita telah diterima dengan baik. Wanita tidak boleh terikat pada konvensi yang membatasi dan menghalangi cita-cita mereka. Perjuangan RA Kartini memungkinkan perempuan Indonesia untuk memperoleh keadilan dan mencapai tujuan di dunia pendidikan. dengan perjuangan RA Kartini untuk pemberdayaan perempuan Sangat berdampak pada Indonesia, terutama perempuan. Akses pendidikan yang sama tanpa mempertimbangkan jenis kelamin Setiap orang berusaha untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan meningkatkan kemampuan soft skill mereka untuk mencapai tujuan. Tidak mengherankan bahwa banyak wanita saat ini berada pada posisi yang sama dengan pria jika berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan. Kartini mengungkapkan perjuangan emansipasi perempuan untuk keadilan dalam hal mendapatkan pendidikan, bersosialisasi dengan masyarakat, dan peran perempuan yang lebih kompleks dalam bidang sosial, budaya, agama dan pendidikan (Ima, 2020).

 

Macam-macam Ketidakadilan Gender

a) Stereotip mengacu pada kecenderungan untuk mengembangkan dan mempertahankan persepsi yang konsisten dan tidak berubah dari sekelompok orang terlepas dari karakteristik unik mereka, dan menggunakan persepsi ini untuk memancarkan anggota kelompok tersebut. Proses kerja panca indera anak laki-laki atau perempuan memulai proses pembentukan stereotip gender dalam hidup kita. Artinya, menyaksikan dan mendengar tingkah laku orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Persepsi dan peniruan perilaku sebagai respon terhadap apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan adalah langkah berikutnya. Persepsi ditiru dan digunakan. Selain itu, mereka mempertimbangkan etika dan tindakan yang tepat. Proses ini melekat pada seseorang, dianggap sebagai kebenaran yang tidak dapat diubah, dan sering dianggap sebagai pelabelan alami. Secara umum, dianggap bahwa sifat dan peran sosial yang dimiliki laki-laki dan perempuan adalah hasil dari struktur sosial dan budaya yang terinternalisasi dalam masyarakat atau yang sudah ada sejak lahir (Ismiati, 2018). Pelabelan sering terjadi dalam dua atau lebih hubungan dan sering digunakan sebagai alasan untuk membenarkan perilaku satu kelompok di atas yang lain. Untuk mendominasi atau mendominasi orang lain, label juga menunjukkan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang atau tidak seimbang. Asumsi gender juga dapat menyebabkan label negatif. Namun, lebih sering daripada tidak, wanita dikaitkan dengan pelabelan negatif. Misalnya, wanita dianggap cengeng, suka diejek, irasional dan emosional, tidak mampu mengambil keputusan penting, dan laki-laki adalah pencari nafkah dan ibu rumah tangga.

b) Tindak Kekerasan terhadap perempuan merupakan ancaman bagi keamanan penghidupan perempuan dan hambatan bagi pembangunan, perdamaian, dan kesetaraan manusia. Menurut Djazifah (2001), kekerasan adalah suatu jenis perilaku yang dapat menghalangi seseorang untuk mewujudkan potensi dirinya (aktualisasi diri) dan mengembangkan kepribadiannya (pertumbuhan pribadi), dua jenis hak dan nilai yang paling penting. Ini digunakan sebagai alasan bahwa perempuan lemah untuk melakukan kekerasan terhadap mereka. Contohnya termasuk kekerasan domestik yang dilakukan suami terhadap istrinya, pemukulan, penyiksaan, rencana, mengungkapkan seksual, eksploitasi seksual terhadap perempuan, dan pornografi.

c) Peran Ganda (Double Role) atau Beban Ganda (Double Burden). Wanita menikah yang juga bekerja di sektor publik sering menggunakan istilah seperti tanggung jawab ganda , peran ganda, atau beban ganda. Namun, sebagian besar wanita Asia lainnya percaya bahwa beban ganda merupakan hal yang wajar bagi perempuan dan tidak menghalangi mereka untuk bekerja. Sama halnya dengan kebanyakan wanita Asia lainnya, mereka percaya bahwa beban ganda merupakan hal yang wajar bagi perempuan dan merupakan hal yang wajar bagi mereka. Namun, beban ganda ini tidak dianggap sebagai hambatan dalam arti negatif. Bagi perempuan pekerja, tanggung jawab ganda dianggap wajar. Padahal, beban ganda adalah warisan budaya yang kuat patriarki yang diterima begitu saja (Widyaningrum, 2020).

d) Hak Asasi Perempuan, baik di tingkat nasional maupun internasional, instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui persamaan prinsip hak antara laki-laki dan perempuan. Namun diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan masih terjadi di tingkat penyelenggaraan negara. Dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, perempuan selalu tertinggal dan termarjinalkan. Budaya patriarkhi yang berkembang dalam masyarakat adat Indonesia adalah salah satu penyebabnya. Laki-laki lebih banyak memegang kekuasaan di masyarakat yang berbudaya patriarki, yang dapat mengurangi keberadaan dan peran perempuan (Kania, 2015).Dengan berpegang pada prinsip kesetaraan di semua bidang, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Diskriminasi terhadap perempuan dengan demikian merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM terhadap perempuan.

e) Kekerasan Sexual Perempuan di Media Massa, kekerasan seksual terhadap perempuan dapat dipecah menjadi beberapa kategori dalam hubungan antara perempuan dan media massa. Ini termasuk menampilkan seksual siber (cyber grooming), perundungan siber (cyberbullying), kebencianan kebencian (hate ujaran), dan pelanggaran tubuh (body shaming). Tindakan menangkap dan mengeksploitasi seseorang melalui media online atau offline dikenal sebagai memahami seksual online. Cyber ​​grooming melibatkan komunikasi yang terfokus antara pelaku dan korban, dan ancaman yang ditujukan hanya kepada korban. Akibatnya, korban umumnya, terutama perempuan dan anak-anak, sangat mudah dirayu dan dirayu oleh pelaku. Kekerasan seksual terhadap korban seperti wanita sering menjadi modus baru cyberbullying. Kekerasan seksual terjadi ketika pelaku mengintimidasi korban sehingga korban melakukan apa yang diinginkan pelaku. Salah satu kejahatan yang terjadi di dunia maya adalah kebencian , yang biasanya disebarluaskan dengan tujuan untuk memprovokasi masyarakat. Penghinaan tubuh atau body shaming jelas merugikan korban secara fisik dan mental. Dugaan pencemaran nama baik di media sosial populer adalah alasan pencemaran yang dilaporkan ke polisi. Namun, penghinaan, baik bentuk tubuh atau jenis penghinaan lainnya, telah dilakukan secara berkala melalui media sosial (Fuady, 2021).

 

Perempuan Dalam Perspektif Gaudium Et Spes Art. 9 dan 29.

Dalam GS Art. 9 dikatakan demikian, “Sementara itu bertumbuhlah keyakinan, bahwa umat manusia bukan hanya mampu dan harus semakin mengukuhkan kedaulatannya atas alam tercipta, melainkan juga bertugas membentuk tata kenegaraan, kemasyarakatan dan ekonomi, yang semakin baik mengabdi manusia dan membantu masing-masing perorangan maupun setiap kelompok, untuk menegaskan serta mengembangkan martabatnya sendiri.” Di sini Gereja percaya bahwa seseorang memiliki kekuatan untuk berbuat baik. Oleh karena itu, kewajiban dalam kekuasaan atau sifatnya untuk lebih mengembangkan martabat manusia. Manusia diajak untuk mengenali dan memperbarui wajahnya. Manusia yang pada waktu itu sering melakukan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan tampaknya telah menyadari bahwa pemisahan seperti itu tidak pantas lagi di masa dan tempat sekarang ini. Gereja melihat dan bertindak atas gerakan ini. Selanjutnya dikatakan, “…Kaum wanita menuntut kesamaan dengan kaum pria berdasarkan hukum maupun dalam kenyataan, bila kesamaan itu belum mereka peroleh…” Mengacu pada pernyataan sebelumnya, jelas bahwa Gereja melihat upaya para wanita ini sebagai upaya untuk meningkatkan martabat mereka. Tentu saja, ini serupa dalam hal jenis kelamin.” (Dokumen Gerejawi, 2017).

Sebagai kelanjutan dari apa yang telah dinyatakan sebelumnya dalam Artkel 9, Pada Art. 29, Gereja telah dengan jelas menyatakan posisinya tentang masalah kesetaraan gender. Ini dinyatakan dalam paragraf pertama artikel ini bahwa, ”Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal-mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban panggilan serta tujuan yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang.” (Dokumen Gerejawi, 2017).

Tentu saja, masing-masing merujuk tidak hanya pada pria, tetapi juga pada wanita. Diciptakan menurut gambar Allah dan telah menerima kasih karunia penebusan Kristus, mereka semua memiliki sifat yang sama, panggilan dan tujuan yang sama. Apakah panggilan dan tujuan yang sama itu? Tidak lain adalah pengembangan harkat dan martabat manusia. Di sini pandangan Gereja bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan harus dihormati dan diperjuangkan ditekankan, dan oleh anugerah penciptaan dan keselamatan persamaan mendasar harus diakui oleh semua manusia, baik perempuan maupun laki-laki.

Selain itu, hari ini Gereja menolak segala bentuk diskriminasi, terutama yang didasarkan pada perbedaan fisik, mental dan moral. Dikatakan demikian di paragraf kedua, “Memang karena pelbagai kemampuan fisik maupun kemacamragaman daya kekuatan intelektual dan moral tidak dapat semua orang disamakan. Tetapi setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi, entah bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan maksud Allah. Sebab sungguh layak disesalkan, bahwa hak-hak asasi pribadi itu belum dipertahankan di mana-mana secara utuh dan aman. Misalnya seorang wanita tidak diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih suaminya dan menempuh status hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan yang sama seperti dipandang wajar bagi pria.” (Dokumen Gerejawi, 2017).

Di akhir paragraf ini jelas bahwa Gereja mengungkapkan pandangannya dalam upaya untuk mengatasi masalah gender kecil. Diskriminasi yang bertentangan dengan tujuan Tuhan, meskipun berdasarkan jenis kelamin, harus diatasi dan diberantas. Laki-laki bebas melakukan apapun yang mereka inginkan untuk meningkatkan martabat manusia, tetapi perempuan terikat oleh ketidakmampuan untuk secara bebas memilih hak-hak dasar mereka. Akhirnya, hak-hak ini sama dengan hak asasi manusia. Itu karena kesamaan mendasar mereka yang berakar pada penciptaan mereka menurut gambar Allah dan dipanggil untuk diutus oleh kasih karunia penebusan Kristus. Dalam paragraf berikut, Gereja melihat diskriminasi yang ada, terutama masalah kesetaraan gender, sebagai skandal di jalan menuju tatanan kehidupan yang lebih manusiawi dan adil. Berikut pernyataan secara lengkap, “Kecuali itu, sungguh pun pada orang-orang terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar, tetapi kesamaan martabat pribadi menuntut agar dicapailah kondisi hidup yang lebih manusiawi dan adil. Sebab perbedaan-perbedaan yang keterlaluan antara sesama anggota dan bangsa dalam satu keluarga manusia di bidang ekonomi maupun sosial menimbulkan batu sandungan, lagi pula berlawanan dengan keadilan sosial, kesamarataan, martabat pribadi manusia, juga merintangi kedamaian sosial dan internasional.” (Dokumen Gerejawi, 2017).

Jika demikian, pembedaan yang kaku dan tidak pandang bulu mengenai hak dan kewajiban "yang diterima begitu saja oleh laki-laki" patut mendapat perhatian khusus. Martabat manusia, atau yang disebut dalam alinea ketiga ini sebagai “kondisi kehidupan yang lebih manusiawi”. Ketidakmampuan dalam mengatasi masalah ini adalah kegagalan setiap manusia untuk mengembangkan panggilannya sedemikian rupa sehingga menjadi lebih bermartabat. Pada paragraf terakhir artikel ini dikatakan demikian, “Adapun lembaga-lembaga manusiawi, baik swasta atau pun umum, hendaknya berusaha melayani martabat serta tujuan manusia, seraya sekaligus berjuang dengan gigih melawan setiap perbudakan sosial maupun politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah setiap pemerintahan. Bahkan lembaga-lembaga semacam itu lambat-laun harus menanggapi kenyataan-kenyataan rohani, yang melampaui segala-galanya, juga kalau ada kalanya diperlukan waktu cukup lama untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan.”

Berdasarkan pernyataan di atas, Gereja mendorong semua pihak untuk memperjuangkan proses penyelesaian masalah ini. Gereja mengakui bahwa perjuangan lebih berbuah ketika mereka berjuang secara kolektif daripada secara individu. Kesamaan mereka di sini adalah melalui institusi niat baik dalam arti bahwa mereka berpartisipasi dalam apa yang diperjuangkan gereja yakni perjuangan untuk membentuk kehidupan manusia secara lebih manusiawi. Gereja juga menekankan bahwa hal ini akan memakan waktu lama, mengingat perjuangan untuk kesetaraan gender tidak mudah, terutama di dunia yang sangat dipengaruhi oleh paham patriarki.


Kesimpulan

Bahwa Gereja Katolik terlibat dalam masalah gender sebagaimana dimaksud dalam art 9 dan 29 Sumbangsih Gaudium et Spes. Menurut Gereja Katolik, seseorang memiliki kemampuan untuk berbuat baik. Akibatnya, kewajiban kekuasaan atau sifat untuk meningkatkan martabat manusia. Orang diajak untuk mengenali wajahnya dan memperbaruinya. Gereja Katolik juga memandang upaya wanita ini sebagai upaya untuk meningkatkan martabat perempuan. Gereja Katolik dengan jelas menyatakan tentang masalah kesetaraan gender dalam art 29 . Di sini Gereja Katolik menekankan bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan harus dihargai dan diperjuangkan. Gereja juga berpendapat bahwa persamaan mendasar harus diakui oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai hasil dari anugerah penciptaan dan keselamatan. Gereja Katolik menentang diskriminasi apa pun, terutama yang didasarkan pada fisik.

Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin harus dihentikan dan dihapus. Gereja Katolik memandang diskriminasi saat ini, terutama masalah kesetaraan gender, sebagai skandal yang menghalangi kemajuan menuju tatanan kehidupan yang lebih manusiawi dan adil. Gereja Katolik juga mengimbau setiap pihak untuk mendukung proses penyelesaian masalah ini. Gereja Katolik juga mengakui bahwa perjuangan lebih menghasilkan hasil ketika dilakukan secara kolektif daripada secara individu. Kesamaan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada niat institusi baik, yaitu bahwa baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam perjuangan gereja untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Gereja Katolik menekankan bahwa kesetaraan gender akan memakan waktu, karena perjuangan untuk mencapainya sulit, terutama di negara-negara yang dipengaruhi oleh paham patriarki.






Soteriologi 12

Komentar