Corak Eklesial Tentang Maria Dalam Konsili Vatikan II

Corak Eklesial Tentang Maria Dalam Konsili Vatikan II . Pada tanggal 29 Oktober 1963, terjadi voting dalam rangka menentukan tempat dan corak pembahasan tentang Maria dalam dokumen Konsili Vatikan II, diadakan voting yang menghasilkan dua aliran utama yang mewakili pandangan berbeda mengenai bagaimana Mariologi sebaiknya disajikan. Voting ini menjadi momen penting dalam sejarah Mariologi karena menentukan apakah ajaran tentang Maria akan dibahas dalam dokumen tersendiri atau diintegrasikan ke dalam dokumen Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium.

Aliran pertama dipimpin oleh Kardinal Santos Rufini dari Manila. Ia mengusulkan agar pembahasan tentang Maria dibuat dalam dokumen tersendiri. Argumen utama Rufini adalah untuk menegaskan keunggulan dan martabat Maria yang unik dan istimewa, yang menurutnya tidak dapat direduksi menjadi bagian kecil dari dokumen tentang Gereja. Bagi Rufini, Maria memiliki posisi yang sangat tinggi dalam misteri keselamatan dan hubungannya dengan Kristus sangat erat, sehingga pembicaraan tentang Maria harus mendapat porsi yang luas dan penuh hormat. Ia khawatir jika Maria hanya dibahas sebagai salah satu bab dalam dokumen Gereja, maka penghormatan dan pemahaman yang layak bagi Maria akan berkurang. Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan kristotipikal atau maksimalis, yang menempatkan Maria dalam posisi yang sangat istimewa dan berbeda dari anggota Gereja lainnya. 

Aliran kedua dipimpin oleh Kardinal Francis König dari Wina. König mengajukan pandangan yang berbeda dengan alasan teologis, historis, pastoral, dan ekumenis yang kuat untuk mengintegrasikan pembahasan tentang Maria ke dalam dokumen Gereja, yaitu Lumen Gentium. Menurutnya, pengintegrasian ini penting agar Mariologi tidak menjadi disiplin yang terisolasi dan terpisah dari teologi secara keseluruhan. Dengan demikian, devosi dan doktrin tentang Maria tidak terlepas dari misteri Kristus dan Gereja. König menekankan bahwa Maria harus dipahami dalam konteks eklesiologis sebagai bagian dari Gereja, sehingga keistimewaan dan peran Maria mendapat makna yang tepat dalam keseluruhan ajaran Gereja. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan eklesiotipikal atau minimalis, yang menempatkan Maria sebagai anggota dan model Gereja, bukan sosok yang berdiri sendiri di luar Gereja.

Hasil voting menunjukkan perpecahan yang sangat tipis: dari 2.193 suara, 1.114 suara mendukung pengintegrasian Mariologi ke dalam dokumen tentang Gereja, sedangkan 1.074 suara menghendaki dokumen tersendiri untuk Maria. Dengan demikian, keputusan akhir Konsili adalah memasukkan ajaran tentang Maria sebagai bab VIII dalam Lumen Gentium dengan judul De Beata Maria Virgine Deipara in mysterio Christi et Ecclesiae (Santa Perawan Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja). Keputusan ini menandai dominasi perspektif eklesiologis dalam Mariologi Konsili, yang mengedepankan kesatuan Maria dengan Gereja dan Kristus dalam misteri keselamatan, sekaligus menghindari isolasi Mariologi sebagai disiplin teologi yang terpisah.

Voting ini juga mencerminkan ketegangan antara kelompok tradisionalis yang ingin menegaskan keistimewaan Maria secara maksimal dan kelompok progresif yang ingin mengaitkan Mariologi dengan konteks teologi yang lebih luas, terutama eklesiologi dan kristologi. Dengan memasukkan Mariologi dalam dokumen tentang Gereja, Konsili berhasil mengatasi ketegangan tersebut dan menghasilkan Mariologi yang trinitaris-kristosentris, di mana Maria dipandang sebagai anggota Gereja yang pertama kali ditebus Kristus dan menjadi model serta ikon bagi seluruh umat beriman.

Komentar